Berbeda
dari pesawat terbang yang biasa digunakan oleh kalangan sipil, pesawat
tempur modern yang digunakan militer saat ini harus memiliki beberapa
kriteria wajib, seperti memiliki kemampuan siluman (stealth) yang
berguna untuk mengurangi kemungkinan terdeteksinya pesawat oleh radar
musuh, avionik yang canggih atau kelincahan bermanuver untuk menghindar
dari kejaran pesawat tempur musuh.
Bagi dunia penerbangan militer, pesawat tempur siluman memang sedang
menjadi pembicaraan hangat. Lalu apa itu pesawat tempur siluman?
Pesawat tempur siluman merupakan pesawat tempur yang mampu menyerap dan
membelokkan gelombang radar, dengan cara membuat desain pesawat yang
minus lekukan yang fungsinya adalah memperkecil sudut-sudut tajam yang
bisa ditangkap oleh radar sehingga memperkecil Radar Cross Section (RCS)
dan membuatnya lebih sulit untuk dideteksi.
Hal inilah yang mendasari pesawat siluman memiliki bentuk yang aneh
tidak seperti biasanya. Pesawat siluman sebenarnya tidak 100% tidak bisa
terdeteksi radar. Tetapi karena memiliki RCS yang kecil, maka di layar
radar hanya tampak seperti gerombolan burung. Teknologi siluman pertama
kali dikembangkan oleh seorang ilmuwan Rusia, Dr Pyotr Ufimtsev pada
tahun 1966.
Pada saat ini ada beberapa negara yang sudah mengembangkan pesawat
tempur mutakhir berteknologi siluman, mereka berlomba membuat pesawat
tempur dengan teknologi yang lebih maju dari yang lainnya. Untuk urusan
pesawat tempur siluman, Amerika Serikat menjadi negara yang paling rajin
mengembangkannya. Ada beberapa pesawat mutakhir milik Amerika Serikat
yang masuk kategori ini, yaitu pesawat F-117 Nighthawk, F-22 Raptor, JSF
F-35 Universal Fighter, dan Bomber B-2 Spirit.
Kemudian ada Rusia yang juga tak mau kalah dalam membuat pesawat tempur
siluman. Rusia sebetulnya sudah mulai membuat program pesawat tempur
siluman pada era Uni Soviet, dengan menyiapkan 2 jet tempurnya, yakni
MIG 1.44 dan Su-47 Berkut (artinya: Elang Emas). Tapi dalam
perjalanannya program pesawat silumannya terseok-seok. Barulah pada masa
kepemimpinan Presiden Vladimir Putin, program ini dilanjutkan kembali.
Kemudian lahirlah jet tempur siluman Sukhoi T-50 yang merupakan hasil
kerja sama antara Rusia dengan India. Jet tempur ini dirancang mampu
menyaingi F-22 Raptor dan JSF F-35 Universal Fighter.
Yang terakhir dan yang paling menggegerkan dunia kedirgantaran adalah
munculnya China yang berhasil membuat pesawat tempur siluman J-20 Black
Eagle sekaligus membuktikan sebagai negara superpower baru, khususnya di
bidang teknologi dirgantara. Namun diyakini pesawat tempur tersebut
menggunakan teknologi yang dimiliki Amerika Serikat. China diduga
''mencuri'' teknologi stealth dari pesawat tempur siluman F-117
Nighthawk milik AS yang ditembak jatuh pada tanggal 27 Maret 1999 dalam
perang Kosovo.
Transfer Teknologi
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Indonesia sebagai negara kepulauan yang
memiliki lebih dari 13.000 pulau dan berpenduduk lebih dari 200 juta,
memiliki armada pesawat tempur yang andal adalah mutlak hukumnya. Hal
ini tentu saja untuk melindungi dan menjaga kedaulatan Indonesia dari
ancaman negara lain. Ancaman yang muncul setidaknya hingga beberapa
tahun ke depan, memang bukan invasi langsung negara lain. Namun, tidak
berarti hal itu menurunkan program pembangunan kekuatan pertahanan udara
di tubuh TNI AU.
Indonesia pernah merasakan pengalaman pahit ketika Amerika Serikat
melakukan embargo militer terhadap Indonesia dari tahun 1999 hingga 2005
atas pelanggaran Hak Asasi Manusia, sehingga membuat sistem
persenjataan TNI lumpuh dan sistem peralatan militernya lemah.
Hal ini dikarenakan sebagian besar pengadaan sistem persenjataan dan
peralatan militer Indonesia, termasuk pesawat tempurnya, berorientasi ke
negara Barat, sehingga banyak pesawat tempur milik TNI didominasi oleh
pesawat tempur buatan Amerika Serikat. Guna menutup kebutuhan
alutsistanya, Indonesia kemudian mencari sumber alternatif lain dalam
pengadaan pesawat tempurnya, baik yang dibeli dari negara lain seperti
pembelian pesawat tempur Sukhoi Su-27SK dan Su-30MK dari Rusia.
Lambat laun muncul keinginan dari pemerintah untuk mandiri dalam
memenuhi kebutuhan perlatan tempurnya dengan memberdayakan dan
memanfaatkan industri pertahanan nasional secara maksimal. Berbeda dari
alutsista impor, alutsista buatan bangsa sendiri ini akan memberikan
kekuatan yang tidak bisa ''dibaca'' negara asing.
Impor alutsista oleh suatu negara memudahkan bagi negara lain untuk
''membaca'' kekuatannya. Itulah alasan pentingnya membuat sendiri
alutsista ataupun teknologi pertahanan lainnya. Pengadaan dari luar
negeri hanya diarahkan pada jenis alutsista yang belum bisa diproduksi
di dalam negeri dengan tetap menerapkan program alih teknologi (transfer
of technology/ ToT) yang menyertakan industri pertahanan nasional.
Lebih dari itu, kemampuan Indonesia memproduksi alutsista secara mandiri
akan meningkatkan kemandirian bangsa sehingga mengurangi ketergantungan
kita terhadap persenjataan buatan negara lain. Dan yang tak kalah
penting, menghindari ''setiran'' negara penjual senjata. Sebagaimana
kita tahu selama ini, negara-negara Barat, seperti Amerika Serikat dan
Eropa seringkali menetapkan banyak syarat dan embel-embel dalam proses
penjualan senjata produksi mereka.
Atas dasar kebutuhan itulah, Indonesia berkeinginan untuk mengembangkan
sebuah pesawat tempur bagi kebutuhan TNI AU. Peluang itu datang tatkala
Korea Selatan mengalami krisis pengadaan pesawat tempur yang rata-rata
sudah memasuki usia tua serta besarnya kebutuhan dana untuk pengembangan
pesawat tempur baru, sehingga mau tidak mau Negeri Ginseng pun berusaha
mencari mitra dalam pengembangan pesawat tempurnya.
Akhirnya, Korea Selatan menawarkan kepada Indonesia untuk mengembangkan
pesawat tempur canggih bagi kebutuhan Angkatan Udara Republik Korea
(ROKAF) dan Tentara Nasional Indonesia - Angkatan Udara (TNI-AU).
Tawaran itu diterima Pemerintah Indonesia karena menilai Korsel memiliki
pengalaman cukup tinggi dalam memproduksi pesawat tempur. Selain itu,
Korsel juga bersedia untuk melakukan transfer of technology. Padahal
tidak semua negara bersedia kerja sama dengan transfer of technology.
Kecenderungan Korsel untuk memilih Indonesia sebagai mitra utama bukan
tanpa sebab. Kedekatan kerja sama pertahanan antara Indonesia-Korsel
sudah terjalin lama. Selama ini kedua negara sudah terlibat dalam saling
beli peralatan pertahanan. Sebagai contoh, Indonesia, mempercayakan
Overhaul Kapal Selam tipe 209 yang dioperasikan TNI AL kepada Korsel.
Indonesia juga membeli 4 kapal LPD (Landing Platform Dock) yang dua di
antaranya dibuat di PT PAL.
Hubungan kedua negara dalam bidang kedirgantaraan juga sudah terjalin
lama, ditandai dengan pembelian pesawat latih KT-1B Wong Bee oleh
Indonesia dan pembelian pesawat CN-235 oleh Korsel.
Indonesia melalui PT Dirgantara Indonesia (PT DI) telah memiliki banyak
pengalaman dalam memproduksi pesawat terbang seperti CN-235 dan N-250,
serta sempat memproduksi komponen pesawat tempur F-16, meliputi wing
flaperon, vertical finskin, forward engine access door, main landing
gear door, weapon pylon dan fuel tank pylon